OPINI, Jejaringnews – Sesekali aku merasakan kengiluan di dada, saat mengamati sekeliling setiap kali menikmati secangkir kopi. Kita duduk di tempat masing-masing tanpa perlu bertegur sapa, kita seolah kehilangan identitas untuk saling mengenal.
Cangkir-cangkir keramik berisikan keheningan, sisa ampas yang mengeras nampak seperti misteri menyihir suasan jadi beku.
Percakapan tak selalu hangat, seperti kopi yang tak tersentuh sehingga pasrah menerima kenyataan yang begitu dingin.
Mulut-mulut kita menjahit dirinya menuju bisu. Sementara android lebih meriah menertawakan kita yang hanya bisa saling menatap tanpa suara.
Teknologi merenggut banyak hal dari manusia, selain percakapan. Manusia juga kehilangan selera humor dan nilai sosial. Nyaris semua serba digital, seperti hidup dan mati kelak bisa saja tergantung tegangan listrik.
Menentengi sesuatu di depan seseorang lalu mengupload di sosial media, bisa jadi menghasilkan apresiasi, lantaran dianggap terlalu baik sebab bisa terus berbagi.
Di lain sisi, ada orang terus melakukan kebaikan tetapi dicap buruk sebab tak pernah memperlihatkan ke dunia maya. Sungguh keakuan dan pengakuan sama kedudukannya bagi mereka.
Kebaikan dan keburukan tergantung teknologi, sekarang. Semua yang dilakukan akan dinilai berdasarkan followers, terlepas dari tindakan apalagi oleh kata dan makna.
Jika seorang bocah saja bisa berisik di hadapan Presiden lalu viral dan dilantik jadi orang penting, seperti duta. Lalu kenapa kita tidak menirunya, melakukan hal serupa demi viral dengan harap bisa mendapatkan kedudukan tinggi.
Hidup semakin rumit saja. Bahkan untuk membedakan mana yang penting atau sinting sama susahnya dengan melepas kopi dari pahitnya.
Saat orang sinting diviralkan kemudian dinilai menghibur dan layak jadi tokoh, seperti orang penting yang selalu diagungkan lantaran dianggap berguna terhadap banyak orang. Keduanya berlaku sama, selalu diapresiasi banyak orang.
Kita bisa melihat beberapa aktivis memilih hengkang dari jalannya demi sesuap nasi di tubuh birokrasi, lalu sebagian lainnya berharap selamat dengan menjebakkan dirinya dalam lingkaran politisi. Serta beberapa lainnya melakukan pembenaran dengan dalih, ini semua demi kebutuhan perut.
Padahal sejak kecil hingga tumbuh besar, sebelum sempat mereka mengenal birokrasi dan politisi, perutnya senantiasa terisi dan selalu cukup.
Sialnya, mereka melihat hidup sederhana yang apa adanya sebagai hidup yang gagal dan tak layak dipertahankan. Sungguh mulia perspektif orang-orang muda semacam itu. Semoga mereka semua panjang umur dan sehat selalu dalam selangkangan penguasa.
Singkat kata, apapun yang terjadi. Hiduplah sebagaimana mestinya. Tanpa harus banyak berucap, berulah dan berubah di luar kemampuan.
Hiduplah dalam dunia masing-masing, sebab dalam kaca mata yang rabun ini, gagal dan suksesnya seseorang tergantung kemampuannya memainkan sosial media.
Penulis: Burhan SJ (Novelis)