OPINI, Jejaringnews – Mungkin kita pernah mengalami hal yang buruk ketika berhadapan dengan anggota polisi. Entah diminta “uang rokok” saat mengurus surat-surat kendaraan, ditekan untuk mengaku bersalah atas sesuatu yang tak pernah dilakukan, atau dicueki ketika melapor kejahatan. Semua ini bukan lagi cerita pinggiran. Ia telah menjelma menjadi pengalaman kolektif masyarakat Indonesia.
Dan ketika kasus-kasus seperti itu mencuat ke permukaan, pembelaan yang muncul pun terdengar terlalu akrab “itu ulah oknum”. Narasi ini semakin kehilangan makna. Sebab publik melihat, yang rusak bukan hanya individu, tapi sistem. Ketika penyimpangan dibiarkan, maka institusi pun layak dimintai pertanggungjawaban.
Karena itu, pernyataan Kakorlantas Irjen Agus Suryonugroho pada awal Juni 2025 menjadi penting. Ia menegaskan, “Jangan lagi pakai istilah oknum untuk anggota yang melanggar,” ini bukan sekadar klarifikasi, tapi pengakuan bahwa waktu untuk berkilah sudah selesai. Kini, reformasi bukan pilihan, tapi keniscayaan.
Saat ini, Polri sedang merakit kembali citra positif mereka. Hampir setiap hari, beranda media sosial memperlihatkan kegiatan polisi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat: membagikan sembako, membantu warga di jalan, hingga mendengar keluhan rakyat.
Tak hanya itu, Polri juga meluncurkan platform baru bernama Policetube, saluran video resmi yang diklaim sebagai ruang untuk menyampaikan informasi, edukasi, dan menampilkan sisi humanis anggota polisi.
Inisiatif ini patut diapresiasi sebagai bentuk keterbukaan dan komunikasi publik yang modern. Namun harus diingat, pencitraan digital tidak akan berarti tanpa pembenahan di lapangan. Masyarakat tidak membutuhkan polisi yang viral, mereka butuh polisi yang adil bahkan saat tak direkam kamera.
Sebaliknya, aib institusi yang dipimpin oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini pun terus bermunculan. Dari pungli, pelanggaran etik, keterlibatan dalam jaringan narkoba, hingga penanganan kasus yang diskriminatif.
Semua ini terus mendegradasi kepercayaan publik yang tengah coba dibangun kembali. Policetube boleh ada, tapi bila pengaduan tetap dicueki, platform itu hanya akan menjadi etalase semu dari institusi yang belum sembuh dari penyakit lama.
Survei GoodStats 2025 mencatat bahwa 66,2 persen masyarakat pernah mengalami pengalaman buruk dengan polisi, dengan pungli sebagai yang paling dominan (55,1 persen). Disusul lambatnya penanganan kasus dan ketidakadilan hukum. Hanya 1,4 persen yang sangat percaya, sementara 65,6 persen menyimpan keraguan terhadap profesionalisme Polri.
Namun di sisi lain, Litbang Kompas mencatat bahwa 65,7 persen masyarakat masih menaruh citra positif terhadap Polri. Sebuah ironi yang menunjukkan bahwa publik masih punya harapan, walau sering kali dikecewakan. Kepercayaan itu rapuh, tapi belum sepenuhnya runtuh.
Dalam konteks ini pula, publik menyuarakan kekecewaan mereka melalui sindiran tajam seperti “percuma lapor polisi” ungkapan ini bukan sekadar ejekan di kolom komentar, melainkan ekspresi putus asa yang lahir dari pengalaman nyata. Ketika hukum tak bergerak tanpa tekanan, rakyat pun kehilangan keyakinan untuk percaya.
Apalagi, banyak kasus hanya direspons setelah viral. Budaya “no viral, no justice” menjadikan keadilan seperti dagangan yang harus diperjuangkan lewat sorotan kamera. Seolah hukum baru berjalan jika sudah trending. Ini bukan hanya mempermalukan aparat, tapi mencoreng wibawa hukum itu sendiri.
Di sinilah kita diingatkan kembali pada prinsip dasar keadilan dalam Islam. Bahwa keadilan adalah amanah besar yang harus ditegakkan, tidak boleh berpihak, dan tidak boleh menunggu sorotan publik. Firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 135 menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran (QS. An-Nisa: 135)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada tekanan, kepentingan, atau viralitas. Keadilan harus tegak, meskipun tanpa kamera, meskipun tanpa trending, dan meskipun pelapornya rakyat biasa.
HUT Bhayangkara ke-79 yang mengusung tema “Polri untuk Masyarakat” seharusnya tidak hanya menjadi panggung selebrasi. Ia adalah momen pertaruhan: apakah Polri benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar tampil baik di depan rakyat.
Jika ingin menjadi milik masyarakat, Polri tak bisa lagi sekadar ramah di layar. Mereka harus menjadi penegak keadilan yang tidak memandang siapa yang datang, apa yang dibawa, atau siapa yang dilaporkan.
Selamat Hari Bhayangkara ke-79. Kami tidak menuntut polisi yang sempurna. Kami hanya ingin polisi yang bisa dipercaya, bahkan ketika kamera dimatikan. Jika Polri ingin lulus dalam ujian kepercayaan ini, jawabannya bukan lagi pencitraan, melainkan keadilan.
Penulis: Ashabul Qahfih